Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example 728x250
BeritaHimpunanmahasiswaislam

Kritik Filosofis terhadap Kronisme dalam Struktur Organisasi: Studi Kasus pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

294
×

Kritik Filosofis terhadap Kronisme dalam Struktur Organisasi: Studi Kasus pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Sebarkan artikel ini

HotnetNews.co.id || Kronisme dalam konteks organisasi adalah praktik memberi posisi atau peluang kepada individu-individu berdasarkan hubungan pribadi atau kedekatan, bukan karena kompetensi atau meritokrasi. Dalam berbagai lingkup organisasi, termasuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), fenomena kronisme ini kerap menjadi sorotan, terutama dalam struktur komisariat. Sistem komisariat, yang secara teoritis bertujuan untuk menjalankan visi dan misi organisasi, sering kali justru tersandera oleh praktik-praktik kronisme yang menghambat tercapainya tujuan organisasi yang lebih besar.

 Kronisme dalam Filosofi Organisasi

Secara filosofis, organisasi didirikan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang optimal melalui kerja sama individu-individu yang memiliki visi dan tujuan yang sama. Dalam kerangka ini, meritokrasi, yaitu pengakuan dan promosi berdasarkan kemampuan dan pencapaian, menjadi salah satu landasan penting bagi organisasi yang sehat dan berdaya saing. Namun, ketika kronisme merajalela, organisasi mulai kehilangan esensi utamanya. Hubungan pribadi dan kedekatan menjadi lebih penting daripada kapabilitas, visi organisasi kabur, dan inovasi cenderung terhambat.

Filosofi organisasi yang sehat haruslah berlandaskan pada keadilan, keterbukaan, dan meritokrasi. Sistem kronisme merusak etos keadilan ini dengan mempromosikan individu berdasarkan loyalitas kepada kelompok atau orang tertentu, bukan kepada visi kolektif organisasi. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan, menurunkan moral, dan pada akhirnya mengurangi efektivitas organisasi.

Kronisme dalam Sistem Komisariat HMI

Dalam HMI, sistem komisariat seharusnya menjadi wadah pengkaderan dan pengembangan potensi anggota untuk siap berkontribusi kepada umat dan bangsa. Namun, kronisme sering kali muncul di tingkat komisariat. Jabatan-jabatan strategis cenderung diberikan kepada mereka yang memiliki kedekatan pribadi dengan pengurus atau senior, bukan kepada individu yang paling layak. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan serius:

1. Penurunan Kualitas Kepemimpinan: Jika jabatan diberikan berdasarkan kedekatan, bukan kualitas, maka pemimpin yang dihasilkan cenderung tidak kompeten. Ini mengakibatkan keputusan-keputusan strategis yang diambil sering kali tidak efektif atau bahkan merugikan.

2. Kemandekan Inovasi: Pemimpin yang terpilih karena kronisme cenderung mempertahankan status quo dan kurang terbuka terhadap ide-ide baru. Akibatnya, organisasi stagnan dan tidak mampu merespons perubahan zaman.

3. Menurunkan Moral Anggota: Anggota yang merasa tidak dihargai meskipun memiliki kompetensi yang lebih baik akan kehilangan motivasi untuk berkontribusi. Ini menciptakan suasana organisasi yang apatis, di mana hanya mereka yang “dekat” dengan kekuasaan yang diberi ruang untuk berkembang.

4. Pengkaderan yang Tidak Berkualitas: Jika kronisme merasuki sistem komisariat, proses pengkaderan pun tidak lagi berfokus pada penanaman nilai-nilai Islam dan keilmuan, melainkan pada pembentukan loyalitas kepada individu atau kelompok tertentu. Ini berlawanan dengan semangat dasar HMI yang ingin melahirkan kader-kader yang independen dan berdaya kritis.

Kritik Filosofis terhadap Kronisme dalam HMI

Secara filosofis, praktik kronisme dalam HMI dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar organisasi itu sendiri. HMI didirikan dengan semangat untuk melahirkan intelektual-intelektual Muslim yang memiliki kapasitas untuk berpikir kritis dan independen, serta mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat. Namun, kronisme justru menciptakan budaya ketergantungan, di mana anggota hanya maju jika mereka “dekat” dengan elit pengurus.

Dari perspektif filsafat politik dan organisasi, kronisme meruntuhkan prinsip keadilan dan meritokrasi. Plato, dalam bukunya Republic, menekankan pentingnya pemimpin yang diangkat berdasarkan kebijaksanaan dan keahlian, bukan karena hubungan pribadi atau favoritisme. Pemimpin yang dipilih karena kronisme cenderung lebih memikirkan kepentingan kelompoknya sendiri daripada kepentingan kolektif organisasi. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural yang bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang diusung oleh HMI.

Lebih jauh lagi, jika kita merujuk pada pemikiran Max Weber tentang birokrasi, organisasi yang sehat seharusnya didasarkan pada aturan yang rasional dan impersonal, di mana jabatan-jabatan diberikan berdasarkan keahlian, bukan hubungan. Kronisme justru mengaburkan batas antara hubungan personal dan profesional, sehingga menghambat profesionalisme dalam organisasi.

Jalan Keluar: Mengembalikan Meritokrasi dan Keterbukaan

Untuk mengatasi kronisme dalam sistem komisariat HMI, beberapa langkah perlu diambil:

1. Penguatan Mekanisme Rekrutmen yang Transparan: Setiap jabatan dalam HMI, khususnya di tingkat komisariat, harus diisi melalui proses seleksi yang terbuka dan transparan, berdasarkan kriteria yang objektif. Penilaian kompetensi, rekam jejak, dan visi kandidat harus menjadi faktor utama dalam pemilihan.

2. Membangun Budaya Kritis dan Terbuka: Anggota harus didorong untuk berpikir kritis dan berani mengutarakan pendapat, tanpa takut akan sanksi sosial atau politik dari kelompok tertentu. Diskusi dan debat terbuka perlu dibudayakan agar proses pengambilan keputusan lebih demokratis dan inklusif.

3. Meningkatkan Pengawasan dan Akuntabilitas: Setiap pengurus harus bertanggung jawab atas kinerjanya, bukan hanya kepada kelompok atau senior tertentu, tetapi juga kepada seluruh anggota. Akuntabilitas ini dapat dijaga melalui sistem evaluasi rutin dan transparansi dalam setiap kebijakan yang diambil.

4. Penanaman Kembali Nilai-Nilai Dasar HMI: Proses pengkaderan harus kembali berfokus pada penanaman nilai-nilai keilmuan, keislaman, dan independensi. HMI harus menjadi tempat di mana setiap anggota dilatih untuk berpikir dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Islam yang adil dan merdeka, bukan berdasarkan loyalitas pribadi.

Kesimpulan

“Kronisme dalam sistem komisariat HMI adalah ancaman serius bagi keberlangsungan organisasi yang sehat dan berdaya saing. Praktik ini tidak hanya menghambat inovasi dan pertumbuhan anggota, tetapi juga merusak semangat dasar HMI sebagai organisasi pengkaderan intelektual Muslim yang kritis dan independen. Sebagai organisasi yang besar, HMI harus berani melakukan refleksi mendalam dan kembali kepada prinsip-prinsip meritokrasi, keadilan, dan keterbukaan untuk menghindari degradasi kualitas kader dan organisasi secara keseluruhan”ujar Tirta Wiliam Diaz